SAPABENTALA.com – Di sebuah pendopo megah, berhiaskan ukiran naga dan phoenix, para petinggi daerah berkumpul. Bupati berwajah garang, adipati berjubah sutra, patih berwajah teduh, dan para residen berwibawa. Mereka semua hadir dalam satu ruangan, bukan untuk berperang memperebutkan tahta, melainkan untuk mengadakan kegiatan sosial yang mulia.
Di antara petinggi-petinggi berwajah sangar dan berpakaian mewah itu, mataku tertuju pada satu sosok perempuan yang memancarkan pesona berbeda. Jauh dari dandanan menor para istri petinggi yang gemerlap bagai kunang-kunang di malam hari, ia tampil sederhana nan menawan dengan kacamata yang menghiasi wajahnya, bagai rembulan purnama yang menerangi kegelapan. Seorang relawan berhati malaikat yang dengan sabar melayani rakyat yang mengantri sembako.
Meskipun wajahnya bermandikan keringat yang membuat kacamatanya berembun, kecantikannya tak pudar sedikitpun. Senyumnya yang tulus bagai mentari pagi menghangatkan hatiku yang dingin. Di tengah aroma keringat dan antrian panjang, benih-benih cinta mulai bersemi di hatiku.
Langkah demi langkah aku mendekatinya, jantungku berdebar kencang bagai genderang perang. Aku tak bisa menjelaskan dengan kata-kata bagaimana pesonanya menusuk kalbuku bagai panah beracun. Saat giliranku tiba untuk mengambil sembako, perutku yang lapar dua hari tak terisi seakan tak terasa. Yang ada di pikiranku hanyalah wajahnya yang manis dan senyumannya yang menawan.
Namun, wajahnya nampak tak asing bagiku. Aku teringat suara merdu yang sering kudengar, mengajak kami berkumpul di pendopo dengan teriakan yang teduh bagai alunan seruling, sambil menunggangi delman tua mengelilingi desa. Benar saja, dia adalah sang pemilik suara indah itu!
Dengan keberanian yang kuputar-putar di telapak tangan, aku melangkah mendekatinya. Suara gugup dan gemetar tak bisa kupendam saat aku menanyakan namanya. “Kala,” jawabnya dengan senyum yang meluluhkan hatiku. Di detik itu, aku yakin, cinta sejati telah menemukan jalannya.
Ah, Kala, kau bagaikan pusaran angin yang menerbangkan akal sehatku. Kau adalah misteri yang ingin aku kuak, rahasia yang ingin aku ungkap. Tapi, saat ini, aku hanya bisa terdiam, terpaku dalam pesonamu, dan berharap semoga rasa gugup ini segera sirna, agar aku bisa menyapaimu dengan senyuman dan kata-kata yang indah, layaknya pangeran dalam negeri dongeng.
Pingback: Kopi, Senja, dan Minyak Kayu Putih | Sapa Bentala