Bintang yang Pudar Sebelum Fajar

Ruang Cerita Bintang yang Pudar Sebelum Fajar | Foto: Freepik/wirestock
Ruang Cerita Bintang yang Pudar Sebelum Fajar | Foto: Freepik/wirestock

SAPABENTALA.com – Kala, namamu seperti mantra yang terus berputar di kepalaku. Setiap malam, saat aku mencoba merangkai mimpi, bayangmu selalu hadir, menyusup di antara helai-helai kenangan yang enggan pudar. Senyummu, yang dulu begitu hangat, kini berubah menjadi luka yang tak pernah sepenuhnya sembuh. Kau tahu? Hingga kini, setiap kali aku menatap rembulan, ingatanku selalu kembali pada malam terakhir kita bertemu.

Malam itu, di bawah langit yang bertabur bintang, kita duduk berdua, namun tak satu pun bintang yang mampu menandingi indahnya wajahmu. Kita berbincang cukup lama hingga gemuruh ombak seakan enggan mengganggu kita, seolah alam semesta tahu bahwa malam itu sepenuhnya milik kita. Lalu kau berbisik, “Segala yang tertulis pada lembaran takdirmu, takkan pernah tertukar.” Kata-kata itu masih menghantui langkahku hingga kini, seolah menjadi teka-teki yang jawabannya tak pernah berhasil kutemukan.

Kisah kita, Kala, adalah buku tua yang kusimpan rapi di sudut hatiku. Setiap halamannya penuh dengan coretan cinta yang tak sempat terukir sempurna. Masih ingatkah kau saat kita pertama kali bertemu? Di pendopo tua itu, kau sedang duduk membagikan sembako dengan senyum tulus dan kacamata yang menghiasi wajah lugumu. Saat itu, aku hanyalah seorang pemuda dengan sejuta ambisi dan mimpi. Kau datang seperti angin sepoi di musim panas, memberi kesejukan pada jiwaku yang gersang.

Namun, takdir ternyata memiliki rencana lain. Sejak saat itu, aku hanya bisa meratapi kepergianmu dari kejauhan. Kau memilih jalan yang berbeda, sementara aku masih terjebak di persimpangan, bingung harus melangkah ke mana.

Waktu berlalu, dan aku mendengar bahwa kau telah menemukan kebahagiaan baru. Bunga hati yang sempat layu di dalam dirimu kini kembali mekar. Aku turut bersuka cita, meski dalam hatiku tersimpan rasa getir yang tak bisa kusembunyikan. Rasanya seperti menonton sebuah film di mana aku bukan lagi pemeran utamanya, hanya seorang penonton yang menyaksikan kisah orang lain.

Aku sering bertanya-tanya, apakah aku terlalu pengecut untuk memperjuangkan kita? Apakah aku terlalu takut menghadapi kenyataan bahwa kita mungkin saja bisa bahagia bersama? Namun, semua pertanyaan itu kini tak lagi berarti, karena kenyataannya, kita memang tak lagi bersama.

Kala, kau mungkin tak akan pernah tahu, betapa setiap detik yang pernah kita lalui selalu terukir dalam ingatanku. Meski kita hanya sepasang burung yang singgah di ranting yang sama, lalu terbang ke arah yang berbeda, aku selalu bersyukur telah mengenalmu. Dalam kesendirian, aku merenung, dan akhirnya menyadari bahwa cinta yang sejati adalah cinta yang mampu melepaskan.

Kini, aku belajar menerima kenyataan bahwa kisah kita memang tak sampai pada babak akhir yang kita impikan. Tapi tak mengapa, mungkin inilah cara semesta merangkai keindahan yang berbeda. Dan jika suatu hari kita bertemu kembali, aku berharap bisa menatapmu dengan senyum, tanpa ada lagi rasa sakit di hati. Karena aku tahu, cinta yang tak pernah menjadi milikku, tetaplah cinta yang paling indah.

Baca Juga: Kasa: Sebuah Nama Tentang Lara dan Bahagia

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *